Selasa, 10 November 2020

Trust

Pesan ini saya dapatkan waktu tengah berdoa di ibadah umum sore offline kala itu. Dengan keadaan fisik yang lemah karena kecapekan, tapi tetap memaksa diri untuk tetap beribadah, justru dalam keadaan seperti itu Tuhan berbicara kuat.

Salah satu hal baik tinggal dalam sebuah keluarga adalah kita mendapatkan orang-orang yang akan membantu meringankan beban, menyembuhkan luka, dan akan selalu menggandeng tangan kita supaya kita tidak tertinggal dalam sebuah perjalanan. Betapa menyenangkannya tinggal dalam sebuah keluarga!

Amsal 27:17 (TB) TB: Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya
Amsal 27:17 (Jawa 1994) Jawa 1994: Wesi landhepé menawa diasah nganggo wesi; semono uga manungsa dadi pinter merga sesrawungan karo pepadhané.

Menarik nya dalam terjemahan bahasa jawa, ada kata-kata yang dipertajam. Dalam Terjemahan Baru disebutkan orang menajamkan sesamanya. Dalam Bahasa Jawa 1994 disebutkan semono uga manungsa dadi pinter merga sesrawungan karo pepadhane. Jika terjemahan Bahasa Jawa 1994 diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, ia mempunyai arti begitu juga manusia akan menjadi "pintar" (atau saya lebih senang mengartikannya sebagai bijaksana) karena bergaul/berhubungan dengan sesamanya.

Jadi, bergaul/berhubungan dengan sesama itu menjadikan manusia lebih pintar/bijaksana. Mengapa bisa begitu? Mari kita bahas. Hidup berdampingan dengan orang lain yang pastinya akan berbeda sudut pandang, karakter, pikiran, prinsip, dan lain-lain. Hampir tidak ada manusia yang "sama" dari semua sisi kehidupan, pasti ada satu titik dimana dua manusia yang mirip itu berbeda.

Dari perbedaan yang hadir itu lahirlah penyelarasan, yang biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat, perselisihan, perdebatan karena adanya perbedaan. Jika hanya dilihat dari mata manusia biasa, perbedaan-perbedaan ini membuat sukar dua manusia untuk bersatu. Tetapi jika dilihat dengan mata Tuhan, yang mengatakan bahwa banyak anggota tapi satu tubuh. Maka kita bisa merasakan bahwa perbedaan-perbedaan inilah yang membuat seorang semakin "pintar"/bijaksana karena ini akan mempertajam hidup kita untuk semakin berkarakter seperti Kristus.

Bagi seorang yang terbiasa melakukan semuanya sendiri, enggan melibatkan orang lain karena "ribet", fase ini menjadi fase terberat dalam hidupnya. Menilik apa yang ditulis Paulus dalam kitab Korintus tentang banyak anggota satu tubuh, kita belajar bahwa anggota tubuh satu dengan yang lain tidak ada yang sama dan satu dengan yang lain saling membutuhkan. Sangat aneh jika semua anggota tubuh adalah kaki, atau semua mata.

Saya lebih suka menggambarkan keberagaman ini dengan harmonisasi musik yang indah. Ya, karena saya suka musik. Saya sangat suka gospel music, misal Israel and New Breed. Saya lihat waktu mereka memainkan lagu It's Not Over live performance, dengan pemain perkusi (alat musik pukul) ada lebih dari satu, belum gitar, bass, alat musik tiup, keyboard, piano, filler, juga vokalnya ada 10 orang mungkin. Dari awal sampai akhir lagu saya sangat menikmati dinamika musiknya. Dari slow (menyentuh) sampai transisi ke sentuhan musik yang sangat groovy sampai membuat badan ini tidak bisa berhenti bergoyang, membuat terheran-heran, bagaimana musik bisa sebagus ini. Kemudian yang saya lakukan saya mengamati permainan semua pemain yang ada. Tidak ada yang berusaha mendominasi sama sekali, semua saling mengisi satu sama lain supaya terbentuk sebuah harmonisasi yang indah. Dalam sebuah team/keluarga, saling percaya sangat diperlukan. Saat sang bassist sedang improve, tugas sang perkusionist tetap bermain menjaga beat supaya sang bassist "nyaman" memainkan permainan bassnya.

Harmonisasi musik yang indah tidak dibentuk dari dominasi satu komponen musik, tapi perpaduan semua komponen musik.

Jika ada permainan spontan, disinilah kepercayaan masing-masing pribadi dalam tim musik diuji. Ada satu kali waktu saya sedang ada dalam worship time sebuah ibadah, spontan saja sang pengkotbah memelototi sang pemain saxofon saat pemain berhenti memainkan saxofonnya, karena ternyata Tuhan ingin berbicara lewat tiupan saxofonnya. Ternyata Tuhan bisa berbicara lewat apapun termasuk tiupan saxofon. Jika sang pengkotbah tidak percaya pada pemain saxofon, saya tidak yakin pesan Tuhan yang mau dinyatakan lewat saxofon bisa disampaikan dengan baik. Begitu juga sang pemain saxofon harus percaya pada diri sendirinya bahwa dia membawa pesan Tuhan. Ketika kepercayaan satu sama lain terjadi, ada sebuah terobosan besar yang terjadi pada jemaat maupun pelayan Tuhan. Beberapa merasakan kasih Bapa, mendapat penglihatan, pesan Tuhan, nubuatan, dll.

Saling percaya ini menjadi tempat "mempertajam" yang baik

Tidak ada komentar :

Posting Komentar